Awal mulanya, mereka masih berkumpul dalam wadah Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU). Lalu, pada forum Konfrensi Besar ke II (14-16
Maret 1960), mengkristal gagasan perlunya wadah yang lebih otonom dan
spesifik untuk mewadahi aktivitas mahasiswa NU. Gagasan ini lahir
dikarenakan sudah dinilai perlu mahasiswa berlatarbelakang NU atau
ahlussunnah wal jamaah memiliki wadah sendiri dan bukan sebatas
departemen perguruan tinggi dibawah struktur IPNU.
Lalu dibentuklah ‘panitia kecil’ yang berjumlah 13 orang yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Makassar, yang kemudian dikenang sebagai pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebelum PMII membesar menjadi organisasi kemahasiswaan NU, telah ada organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan NU, namun dalam lingkup yang terbatas, seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU, 1955) di Jakarta dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU, 1955) di Surakarta. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1960 (21 Syawal 1379 Hijriyah) ditasbihkan sebagai tanggal lahir PMII bersamaan dengan diberlakukannya peraturan dasar organisasi.
Ketika didirikan tahun 1960, PMII telah memiliki 13 kepengurusan cabang dan masih menggunakan nama pimpinan pusat (PP). Yang menarik adalah pertumbuhan PMII ditopang oleh LP Maarif (lembaga yang membawahi pengembangan pendidikan dibawah Nahdlatul Ulama). Sinergi ini memungkinkan PMII berkembang dengan pesat, terbukti, pada kongres ke II (25-29 Desember 1963), jumlah PMII telah bertambah menjadi 31 cabang. PMII bisa memiliki cabang dipesantren-pesantren dengan anggota para santri yang sudah lulus Aliyah atau tahap pengajian yang sudah sesuai.
Sebagaimana organisasi kemahasiswaan lainnya, PMII adalah anak dari zamannya. Bilangan tahun 1960 adalah tahun-tahun politik dan senjakala dari kekuasaan Orde Lama. NU sendiri, yang dipimpi oleh Idham Chalid, juga berstatus sebagai partai politik dan tiga besar dalam pemilu pertama tahun 1955. Dan, PMII pun tak bisa melepaskan diri dari tarik menarik juga praktik politik praktis yang menjangkiti organisasi kemahasiswaan dizaman itu. Semua kita sudah mahfum, karena panasnya kondisi politik dan usia republik yang masih sangat muda, politik berkembang menjadi panglima dibawah presiden Soekarno. Organisasi Islam seperti Masyumi ‘menggunakan HMI’ dan PKI mempunyai sayap bernama CGMI, selain partai NU dengan PMII-nya.
Bersamaan dengan perjalanan dan penataan internal organisasi, dalam satu pertemuan di Bogor, ditegaskan butir-butir pemikiran yang hingga kini terus hidup dalam kesadaran kolektif warga pergerakan. Butir-butir itu adalah, pertama, bahwa warga PMII wajib mengamalkan prinsip ilmu pengetahuan bagi perbaikan masyarakat, bukan ilmu untuk ilmu, kedua, ‘pergerakan’ bermakna dinamika dan ‘kebebasan’ karena itu harus terus diciptakan ruang bagi aktulisasi diri dan peran mahasiswa, ketiga, bahwa pengabdian tertinggi PMII hanya pada bangsanya (Indonesia) dan organisasi hanyalah alat perjuangan semata. (dokumen historis Gelora Megamendung, Bogor, 17-25 April 1965).
Salah satu keputusan penting yang turut menandai transformasi PMII adalah deklarasi Munarjati Malang. Deklarasi Munarjati merupakan penegasan independensi PMII kelompok politik manapun. Faktor yang membuat dikeluarkannya deklarasi ini dalam Musyawarah Besar ke II (14-16 Juli 1972) adalah ‘berkenaan dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai dihapuskan. Hal mulai dirasakan oleh NU yang notabene merupakan partai politik. Hal inipun dirasakan pula oleh organisasi dependennya, termasuk didalamnya PMII. Ditambah lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando Back to Campus. Dalam kondisi seperti itu, maka PMII mencari alternatif baru dengan tidak lagi dependen kepada partai politik manapun’. (Fauzan Alfas, ke-PMII-an, 1989).
Selintas sejarah PMII diatas menggambarkan perjalanan PMII dalam merumuskan diri, peran, relasi dan perannya ditengah kehidupan bangsa yang sedang berbenah. Fase peralihan dari orde lama ke orde baru adalah fase yang sangat krusial, karena selain menyedot energi semua organisasi (kemahasiswaan) kedalam labirin kehidupan politik, juga membawa konsekuensi perpecahan bangsa yang berujung pada punah. Namun, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa PMII turut belajar dari sejarah komunitas dan bangsanya. Segenap kesalahan dimasa masa lalu tak perlu dijadikan kambing hitam apalagi menjadi mimpi buruk masa depan.
PMII Kini dan Visi Masa Depan
Tanpa bermaksud membanggakan diri secara berlebih, secara organisatoris PMII hari ini beranggotakan 220 pengurusan cabang (setingkat kabupaten/kota) dan 18 Pengurus Koordinator Cabang (PKC, setingkat propinsi). Fakta ini menegaskan bahwa sistem internal organisasi mampu bertahan (survive) ditengah perubahan zaman. Tentu saja kapasitas untuk survive itu dimungkinkan ada karena perbaikan terus menerus, khususnya yang berkaitan dengan sistem kaderisasi sebagai poros pembangunan sumberdaya manusia dan konstitusi organisasi sebagai perangkat utama aturan main. Selain itu, juga dilengkapi dengan perumusan terus menerus paradigma pergerakan yang dikoreksi oleh zaman yang berubah.
Dengan pertumbuhan pesat struktur organisasi seperti ini, secara internal PMII jelas memiliki tantangan : sejauhmana sistem besar ini berjalan secara efektif dan kontributif terhadap kebutuhan bangsanya, khususnya menopang gerak Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Pertanyaan ini juga menyaratkan model kepemimpinan dan manajemen organisasi yang modern dan cepat tanggap dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sub-bangsa yang begitu plural.
Dalam hemat kami, ada beberapa hal yang harus terus dipertahankan PMII sembari terus mengembangkan ruang-ruang pergerakan yang memungkinkan organisasi ini menjadi aktor penting dari perubahan sosial menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Pertama, PMII harus terus mendefinisikan dirinya sebagai warga dari habitat global, sebagaimana bangsa ini juga adalah bagian dari habitat global itu. Oleh karenannya, PMII tak bisa menjadi organisasi yang mengidap amnesia sejarah dan tak kritis membaca perubahan yang terjadi ditingkat internasional. Karena itu, PMII harus mengambil peran dalam mengkonsolidasi kekuatan kaum muda secara internasional, sebagaimana dahulu pernah dilakukan oleh angkatan tahun 1960-1970 di PMII, dengan menghadiri pertemuan pemuda di Moskow misalnya. Konsolidasi internasional itu berkaitan dengan usaha membangun kaukus kaum muda internasional yang concern terhadap agenda keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian dunia.
Kedua, PMII harus menjadi motor terdepan dalam mengaktualisasi nilai-nilai Islam Indonesia dan tegaknya negara Pancasila yang melindungi semua sub-bangsa di Nusantara. Islam Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kini hidup dalam ruang batin masyarakat Indonesia yang sarat dengan moderatisme, toleransi, dan semangat kemanusiaan bersama. Hanya dengan mengembangkan sikap demikian, maka negara Pancasila pun bisa terus tegak sebagai sebuah ideologi kolektif dalam formasi negara seperi apa pun. Maka itu, kelenturan dan luasnya pergaulan kader-kader PMII dengan segenap komponen bangsa tanpa melihat asal-usul keyakinan dan suku adalah modal sejarah yang harus terus diregenerasikan hingga kapan pun.
Ketiga, PMII harus terus berperan sebagai poros kaderisasi mahasiswa dan stok yang menyiapkan pemimpin dilevel NU mapun bangsa ini. Kaderisasi adalah jantung yang menandai pembangunan sumberdaya manusia dan pendistribusian kader pergerakan kesegenap lini kehidupan bangsa. Sampai hari ini, walau belum banyak, tak bisa dipungkiri bahwa alumni-alumni PMII telah mampu membuktikan kapasitas dan perannya, khususnya dibidang politik dan pemerintahan. Kedepan, kaderisasi PMII harus mampu membuka ruang bagi pendsitribusian kader-kadernya ke lini ekonomi, profersional, bahkan militer sekalipun.
Keempat, dilingkup domestik yang lebih kecil, PMII harus memimpin usaha-usaha menciptakan kepemimpinan pergerakan berbasis pulau. Dengan geografi kepulauan seperti ini, Indonesia jelas bersandar pada sumberdaya manusia dan alam yang tersebar ditiap pulau itu yang memiliki karakteristik dan tingkat perkembangan berbeda-beda. Karena itu, logika oposisional seperti pusat dan daerah atau timur dan barat sudah seharusnya diinversi dengan logika yang lebih relasional dan afirmatif. Artinya, kerjasama antar pulau adalah agenda yang harus terus didorong, yang dimulai dari pemenuhan kebutuhan bersama hingga kerjasama-kerjasama yang bergerak keluar dari pemenuhan kebutuhan ansich.
Akhirnya, selamat merayakan 50 tahun perjalanan PMII. Untukmu satu tanah airku, untumu satu keyakinanku. PMII Mengabdi pada NU dan Bangsa; New Movement, New Generations and New Leadership for Indonesia Society. Dirgahayu 50 tahun PMII.
Oleh: Muhammad Rodli Kaelani
* Ketua Umum PB PMII masa Khidmat 2008-2010
Lalu dibentuklah ‘panitia kecil’ yang berjumlah 13 orang yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Makassar, yang kemudian dikenang sebagai pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebelum PMII membesar menjadi organisasi kemahasiswaan NU, telah ada organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi dengan NU, namun dalam lingkup yang terbatas, seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU, 1955) di Jakarta dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU, 1955) di Surakarta. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1960 (21 Syawal 1379 Hijriyah) ditasbihkan sebagai tanggal lahir PMII bersamaan dengan diberlakukannya peraturan dasar organisasi.
Ketika didirikan tahun 1960, PMII telah memiliki 13 kepengurusan cabang dan masih menggunakan nama pimpinan pusat (PP). Yang menarik adalah pertumbuhan PMII ditopang oleh LP Maarif (lembaga yang membawahi pengembangan pendidikan dibawah Nahdlatul Ulama). Sinergi ini memungkinkan PMII berkembang dengan pesat, terbukti, pada kongres ke II (25-29 Desember 1963), jumlah PMII telah bertambah menjadi 31 cabang. PMII bisa memiliki cabang dipesantren-pesantren dengan anggota para santri yang sudah lulus Aliyah atau tahap pengajian yang sudah sesuai.
Sebagaimana organisasi kemahasiswaan lainnya, PMII adalah anak dari zamannya. Bilangan tahun 1960 adalah tahun-tahun politik dan senjakala dari kekuasaan Orde Lama. NU sendiri, yang dipimpi oleh Idham Chalid, juga berstatus sebagai partai politik dan tiga besar dalam pemilu pertama tahun 1955. Dan, PMII pun tak bisa melepaskan diri dari tarik menarik juga praktik politik praktis yang menjangkiti organisasi kemahasiswaan dizaman itu. Semua kita sudah mahfum, karena panasnya kondisi politik dan usia republik yang masih sangat muda, politik berkembang menjadi panglima dibawah presiden Soekarno. Organisasi Islam seperti Masyumi ‘menggunakan HMI’ dan PKI mempunyai sayap bernama CGMI, selain partai NU dengan PMII-nya.
Bersamaan dengan perjalanan dan penataan internal organisasi, dalam satu pertemuan di Bogor, ditegaskan butir-butir pemikiran yang hingga kini terus hidup dalam kesadaran kolektif warga pergerakan. Butir-butir itu adalah, pertama, bahwa warga PMII wajib mengamalkan prinsip ilmu pengetahuan bagi perbaikan masyarakat, bukan ilmu untuk ilmu, kedua, ‘pergerakan’ bermakna dinamika dan ‘kebebasan’ karena itu harus terus diciptakan ruang bagi aktulisasi diri dan peran mahasiswa, ketiga, bahwa pengabdian tertinggi PMII hanya pada bangsanya (Indonesia) dan organisasi hanyalah alat perjuangan semata. (dokumen historis Gelora Megamendung, Bogor, 17-25 April 1965).
Salah satu keputusan penting yang turut menandai transformasi PMII adalah deklarasi Munarjati Malang. Deklarasi Munarjati merupakan penegasan independensi PMII kelompok politik manapun. Faktor yang membuat dikeluarkannya deklarasi ini dalam Musyawarah Besar ke II (14-16 Juli 1972) adalah ‘berkenaan dengan situasi politik nasional, ketika peran partai politik dikebiri – bahkan partisipasi dalam pemerintahanpun sedikit demi sedikit dikurangi – dan mulai dihapuskan. Hal mulai dirasakan oleh NU yang notabene merupakan partai politik. Hal inipun dirasakan pula oleh organisasi dependennya, termasuk didalamnya PMII. Ditambah lagi dengan digiringnya peran mahasiswa dengan komando Back to Campus. Dalam kondisi seperti itu, maka PMII mencari alternatif baru dengan tidak lagi dependen kepada partai politik manapun’. (Fauzan Alfas, ke-PMII-an, 1989).
Selintas sejarah PMII diatas menggambarkan perjalanan PMII dalam merumuskan diri, peran, relasi dan perannya ditengah kehidupan bangsa yang sedang berbenah. Fase peralihan dari orde lama ke orde baru adalah fase yang sangat krusial, karena selain menyedot energi semua organisasi (kemahasiswaan) kedalam labirin kehidupan politik, juga membawa konsekuensi perpecahan bangsa yang berujung pada punah. Namun, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa PMII turut belajar dari sejarah komunitas dan bangsanya. Segenap kesalahan dimasa masa lalu tak perlu dijadikan kambing hitam apalagi menjadi mimpi buruk masa depan.
PMII Kini dan Visi Masa Depan
Tanpa bermaksud membanggakan diri secara berlebih, secara organisatoris PMII hari ini beranggotakan 220 pengurusan cabang (setingkat kabupaten/kota) dan 18 Pengurus Koordinator Cabang (PKC, setingkat propinsi). Fakta ini menegaskan bahwa sistem internal organisasi mampu bertahan (survive) ditengah perubahan zaman. Tentu saja kapasitas untuk survive itu dimungkinkan ada karena perbaikan terus menerus, khususnya yang berkaitan dengan sistem kaderisasi sebagai poros pembangunan sumberdaya manusia dan konstitusi organisasi sebagai perangkat utama aturan main. Selain itu, juga dilengkapi dengan perumusan terus menerus paradigma pergerakan yang dikoreksi oleh zaman yang berubah.
Dengan pertumbuhan pesat struktur organisasi seperti ini, secara internal PMII jelas memiliki tantangan : sejauhmana sistem besar ini berjalan secara efektif dan kontributif terhadap kebutuhan bangsanya, khususnya menopang gerak Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia. Pertanyaan ini juga menyaratkan model kepemimpinan dan manajemen organisasi yang modern dan cepat tanggap dengan kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan sub-bangsa yang begitu plural.
Dalam hemat kami, ada beberapa hal yang harus terus dipertahankan PMII sembari terus mengembangkan ruang-ruang pergerakan yang memungkinkan organisasi ini menjadi aktor penting dari perubahan sosial menuju masyarakat Indonesia yang lebih baik.
Pertama, PMII harus terus mendefinisikan dirinya sebagai warga dari habitat global, sebagaimana bangsa ini juga adalah bagian dari habitat global itu. Oleh karenannya, PMII tak bisa menjadi organisasi yang mengidap amnesia sejarah dan tak kritis membaca perubahan yang terjadi ditingkat internasional. Karena itu, PMII harus mengambil peran dalam mengkonsolidasi kekuatan kaum muda secara internasional, sebagaimana dahulu pernah dilakukan oleh angkatan tahun 1960-1970 di PMII, dengan menghadiri pertemuan pemuda di Moskow misalnya. Konsolidasi internasional itu berkaitan dengan usaha membangun kaukus kaum muda internasional yang concern terhadap agenda keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian dunia.
Kedua, PMII harus menjadi motor terdepan dalam mengaktualisasi nilai-nilai Islam Indonesia dan tegaknya negara Pancasila yang melindungi semua sub-bangsa di Nusantara. Islam Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kini hidup dalam ruang batin masyarakat Indonesia yang sarat dengan moderatisme, toleransi, dan semangat kemanusiaan bersama. Hanya dengan mengembangkan sikap demikian, maka negara Pancasila pun bisa terus tegak sebagai sebuah ideologi kolektif dalam formasi negara seperi apa pun. Maka itu, kelenturan dan luasnya pergaulan kader-kader PMII dengan segenap komponen bangsa tanpa melihat asal-usul keyakinan dan suku adalah modal sejarah yang harus terus diregenerasikan hingga kapan pun.
Ketiga, PMII harus terus berperan sebagai poros kaderisasi mahasiswa dan stok yang menyiapkan pemimpin dilevel NU mapun bangsa ini. Kaderisasi adalah jantung yang menandai pembangunan sumberdaya manusia dan pendistribusian kader pergerakan kesegenap lini kehidupan bangsa. Sampai hari ini, walau belum banyak, tak bisa dipungkiri bahwa alumni-alumni PMII telah mampu membuktikan kapasitas dan perannya, khususnya dibidang politik dan pemerintahan. Kedepan, kaderisasi PMII harus mampu membuka ruang bagi pendsitribusian kader-kadernya ke lini ekonomi, profersional, bahkan militer sekalipun.
Keempat, dilingkup domestik yang lebih kecil, PMII harus memimpin usaha-usaha menciptakan kepemimpinan pergerakan berbasis pulau. Dengan geografi kepulauan seperti ini, Indonesia jelas bersandar pada sumberdaya manusia dan alam yang tersebar ditiap pulau itu yang memiliki karakteristik dan tingkat perkembangan berbeda-beda. Karena itu, logika oposisional seperti pusat dan daerah atau timur dan barat sudah seharusnya diinversi dengan logika yang lebih relasional dan afirmatif. Artinya, kerjasama antar pulau adalah agenda yang harus terus didorong, yang dimulai dari pemenuhan kebutuhan bersama hingga kerjasama-kerjasama yang bergerak keluar dari pemenuhan kebutuhan ansich.
Akhirnya, selamat merayakan 50 tahun perjalanan PMII. Untukmu satu tanah airku, untumu satu keyakinanku. PMII Mengabdi pada NU dan Bangsa; New Movement, New Generations and New Leadership for Indonesia Society. Dirgahayu 50 tahun PMII.
Oleh: Muhammad Rodli Kaelani
* Ketua Umum PB PMII masa Khidmat 2008-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar